Telah Berpulang Kepangkuan Bapa Disurga Laum Mangara Gultom Salah Seorang Tokoh Pendiri Punguan Dan Tugu Toga Pandiangan

Samosir, bidikkasusnews.com - Laum M Gultom adalah salah seorang tokoh yang berperan dalam pembentukan punguan (kumpulan) Toga Pandiangan, beliau juga tokoh yang ikut dalam merencanakan, menggagas pendirian, pembangunan Tugu Toga Pandiangan yang berada di Negeri Urat - Samosir sebagai tanah leluhur Toga Pandiangan.

Almarhum lahir 15 Agustus 1934 dan meninggal 4 Februari 2020 pukul 13.15 dikediamannya Huta Gotting Desa Pardomuan Kec.  Palipi Kab.  Samosir.
Almarhum memiliki istri bernama Marsentis br. Parhusip, dan dikaruniai sembilan orang anak : empat laki laki (anak) dan lima perempuan (boru).

Semasa hidupnya almarhum adalah seorang Pegawai Negeri, dan sebelum pensiun almarhum sempat menjabat sebagai PS Pengawas Sekolah dimasa itu.
Saat media bidikkasusnews.com melayat kerumah duka sempat mewawancarai keluarga almarhum yakni : Ombri Gultom (amani Golma)  selaku anak tertua, Bumbunan Gultom (amani Restu)  anak paling bungsu yang juga merupakan kepala desa Pardomuan kec. Onan Runggu.
Juga turut Lamson Pakpahan sebagai kepala desa Pakpahan yang juga merupakan keluarga almarhum.

Dalam perbincangan yang hampir kurang lebih satu jam tim media mendapakan banyak informasi tentang almarhum Laum Mangara Gultom semasa hidupnya.
Semasa almarhum menjadi ketua punguan (kumpulan)  Toga Pandiangan, lebih dari 23 tahun memimpin,  sejak tahun 1982 - 2005, dan pada Juni 2005 pergantian pengurus (Ketua Umum)  Punguan (Kumpulan)  Toga Pandiangan dari Almarhum Laum M.Gultom kepada Ir.  JMT.  Pandiangan, SE. MM.
Sejak saat itu Ir. JMT. pandiangan memimpin Punguan Toga Pandiangan selama Tiga Belas Tahun yakni sampai tahun 2018 yang lalu.

Banyak cerita yang berhasil dihimpun media pada saat itu, yang mana sebelum almarhum terpilih dan di sahkan menjadi Ketua Umum Toga Pandiangan Se Indonsia (Se Dunia).

Adapun yang melatar belakangi pembentukan Punguan Toga Pandiangan adalah sebuah upaya untuk mengembalikan keharmonisan hubungan kekeluargaan antara keturunan Raja Humirtap (Toga Pandiangan) dengan keturunan Raja Sonang (Gultom, Pakpahan, Samosir,  Sitinjak, Harianja) yang pada masa itu mengalamai kerenggangan.  Diakui oleh parah keturunan dari kedua raja, seperti yang diakui ketua adat dan pengurus Tugu Toga Pandiangan sebagai keturunan raja Humirtap Wilson Pandiangan (Op. Tamrin),  Kadim Pandiangan (amani Manri), begitu pula diakui oleh Lamson Pakpahan yang saat ini adalah kepala desa Pakpahan dan juga sebagai tokoh adat di kecamatan Onan Runggu, serta Bumbunan Gultom kepala desa Pardomuan, juga Ombri Gultom, dimana mereka bertiga juga mengakui bahwa kondisi kerenggangan yang ada dimasa itu, mereka sebagai keturunan dari Raja Sonang.
Hal inilah yang menjadi pendorong kepada masing masing keturunan dari dua raja (Raja Humirtap dohot Raja Sonang) untuk memikirkan apa yang bisa menjadi jalan keluarnya dari kerenggangan dan ketegangan yang ada pada saat itu.

Sehingga lahirlah sebuah gagasan dari keturunan Raja Humirtap untuk membentuk Punguan Toga Pandiangan dan mereka bersepakat pada pada saat itu untuk menunjuk Almarhum Laum M. Gulom sebagai ketua punguan tersebut.

Dan pada saat itu para tokoh tokoh marga Pandiangan baik yang ada di binapasogit juga yang ada di perantauan mengadakan rapat dan memutuskan, membuat mandat untuk di sampaikan kepada almarhum agar mau menjadi ketua punguan Toga Pandiangan.

Dikisahkan bahwa pada awalnya Almarhum tidak dapat menerima mandat tersebut dan menolaknya bahkan almarhum menolak dengan sangat keras dan kasar pada masa itu, keterangan ini di perkuat oleh ketua adat punguan dan pengurus Tugu Toga Pandiangan saat kami temui di Tugu Toga Pandiangan di Urat kecamatan Palipi. Wilson Pandiangan (Op. Tamrin) dan Kadim Pandiangan (amani Manri). Wilson Pandiangan menceritakan bahwa beliau sebagai orang yang di utus untuk menyampaikan Surat Mandat yang telah dibuat, saat itu di ceritakan almarhum menolak mandat tersebut dengan sangat keras dan kasar.

Tidak lama setelah penolakan tersebut, Almarhum yang pada masa itu sebagai PS Pengawas Sekolah, bersama beberapa orang guru melakukan perjalanan dengan kapal kecil di danau toba dari Onan Runggu menuju Sukkean,  ditengah perjalanan, diatas kapal yang mereka tumpangi, mereka mengalami peristiwa yang sangat menakutkan, mengerikan, diceritakan bahwa pada saat itu Laum Gultom (almarhum)  melihat sosok seekor ular Naga yang sangat besar menghadang mereka yang muncul secara tiba tiba dari dalam danau toba, seakan ingin menyelamatkan diri almarhum melihat kearah bukit disana almarhum juga melihat di bebukitan sosok ular Naga yang lain. Dalam kondisi yang demikian almahum sempat pinsan, tidak sadarkan diri, akhirnya pada saat itu rombongan tidak melanjutkan perjalanannya, akhirnya setelah sadar ternyata almarhum sudah berada di rumah dan sejak saat itu almarhum mengalami sakit yang agak lama, dan pada saat itulah almahum sering di datangi didalam mimpinya, pada saat itu diceritakan oleh almarhum bahwa yang mendatangi beliau didalam mimpinya selalu menyuruh beliau untuk menerima mandat yang telah di sampaikan kepadanya, jika beliau terus menolak maka di katakan kepada beliau bahwa ia tidak akan lama lagi akan meninggal dunia.

Akhirnya beliau memutuskan untuk menerima mandat tersebut dan menyatakan kesediannya untuk memimpin punguan Toga Pandiangan, akhinya beliaupun sembuh dari sakitnya.

Hal lain yang membuat almarhum Laun Mangara Gultom menjadi sosok yang sangat istimewa adalah bahwa dalam perjalanannya memimpin punguan Toga Pandiangan, beliau memimpin dengan sangat baik dan di hormati, terbukti sejak beliau memimpin maka ketegangan dan ketidak harmonisan antara keturunan Raja Humirtap dan keturunan Raja Sonang berangsur angsur membaik dan kembali hidup rukun, harmonis sampai saat ini.

Cerita yang menarik lain dari almarhum Laum M. Gulton, bahwa sebelum meninggal dunia, beliau telah mempersiapkan petih jenajahnya sekaligus petih jenajah buat istrinya.
Dalam hal mempersiapkan petih jenajahnya bersama petih jenajah istrinya memiliki cerita yang sangat menarik dimana dari mulai merencanakan sampai petih jenajah selesai dikerjakan sampai memakan waktu satu tahun.

Setelah direncanakan lalu dilaksanakan ritual adat untuk memilih kayu yang terbaik (Pohon yang masih hidup) Marhau tata (Hau Hibul) jenis kayu (hau) Rampa.

Ritual pertama adalah ritual Memilih kayu terbaik (Thn 2016) adapun ritual tersebut berupa Dijou boru, marompu ompu, dibuatnya Itak Gur gur dan diletakkan persis di kayu yang telah dipilih.

Ritual kedua dilaksanakan tujuh hari setelah ritual pertama, yakni ritual untuk menebang (Martaba) dengan peran Dalihan Natolu, dimana boru mengambil peran untuk mengerjakannya bersama sama sampai pohon berhasil di tumbang.
Ritual menebang (Martaba) dilaksanakan dengan memanggil para natua tua (tokoh adat) kerena setelah pohon berhasil ditumbang maka natua tua akan melihat Parpeak hau (posisi kayu) yang sudah tumbang, setelah dinilai posisinya baik selanjutnya melihat tumbor ni hau (tunas kayu) yang sudah di tebang, jika tunasnya (tumborna) muncul keatas maka kayu tersebut sangat baik, dan jika tunasnya berlubang kedalam (marlubang tu bagas) maka kayu tersebut tidak baik untuk di jadikan.
Dibatang kayu yang telah si tebang diletakkan Napuran Tiar dohot tolor manuk hampung sabutir.
(daun sirih dan sebutir telur ayam kampung)

Ketiga adalah Ritual untuk membentuk, ritual ini dilaksanakan setelah lima bulan pohon kayu ditebang. Masa memahat (Martuhil) selama dua minggu. Setelah dipahat lalu dibiarkan sampai beberapa bulan agar kayu bebar benar kering manjaga agar tidak pecah pecah.

Lalu setela waktu yang cukup maka diselesaikanlan peroses pembuatan petih jenajah.

Sebagai mana informasi yang di himpun bahwa petih jenajah ini sudah selesai di kerjakan tiga tahun yang lalu. 
(Bastian Simbolon)

Artikel Terkait

Berita|Sumut|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya


 


 


 

 


VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami